Minggu, 26 Februari 2012

Produksi Bahan Kain Sutera Kian Merosot

Salah satu bahan pakaian yang tergolong mahal dan spesial adalah dari benang sutera alam. Namun sebagian besar perancang mode, pengusaha busana hingga masyarakat umum tidak mengenal mata rantai proses produksinya. Di Indonesia, tercatat hanya ada dua pengusaha sutera alam (PSA), yaitu di Sulsel dan Jateng. Untuk di Jateng, perusahaan itu berada di desa Regaloh, kecamatan Tlogowangu, sekitar 7 km utara alun - alun Pati.


PSA Regaloh mulai dioperasikan 20 Desember 1972 dengan ditunjang dengan 2 mesin buatan Jepang yang berfungsi untuk pengeringan kokon (kepompong ulat sutera), perebusan kokon hingga menghasilkan benang sutera. Produksi sutera terutama ditunjang dengan keberadaan daun murbei (morus indica) yang ditanam pihak perhutani, dari semula seluas 873 hektare, kini tinggal 327 hektare yang tersebar di desa Sumbermulyo, Tlogosari dan Regaloh.

Kepala PSA Regaloh, Solikin mengatakan, kebun murbei itu ditangani ribuan petani yang sebagian diantaranya juga terlibat dalam pemeliharaan ulat sutera. "Sayangnya telor bibit ulat sutera masih menggantungkan pasokan dari jepang. Selain itu, PSA Regaloh tercatat tidak pernah stabil dalam produksi benang karena berbagai hal, terutama menyangkut produksi daun murbei yang naik turun akibat serangan ulat atau dilanda kekeringan", ujarnya.

Data PSA Regaloh mencatat pada 2007 misalnya, target produksinya 2.801 ton, tetapi realisasinya hanya 2.274 ton. Sedang produksi kokon yang diharap mampu mencapai 50.000 ton, hanya tercapai 29.104 ton. Begitu pula produksi benang yang dipatok 5.750 kilogram hanya tercapai 1.712 kilogram.

Pada 2011, produksi daun ditarget 2.604 ton, hanya tercapai 1.815 ton. Produksi kokon yang diharapkan mampu mencapai 37.200 kilogram hanya terealisasi 15.356 kilogram. Begitu pula dengan produksi benang yang dicanangkan 3.720 kilogram, hanya tercapai 741 kilogram. Padahal harga raw silk pada posisi menjelang pada akhir Februari mencapai Rp. 440.000 per kilogram dan twist silk (plintir) tembus Rp. 500.500 per kilogram.

"Selama kurun waktu 1972 hingga Februari tahun ini, terjadi pasang surut. Bahkan sempat berhenti produksi. Sempat memiliki 102 karyawan tetap dan 68 tenaga harian lepas, tetapi sekarang tinggal 15 karyawan yang masih dipertahankan,"tutur Solikin.

Ia menambahkan, pasar produksi sutera alam Regaloh sebagian besar diserap produsen tenun tradisional dengan alat tenun bukan mesin (ATBM) di berbagai daerah di Indonesia. "Misalnya pusat tenun tradisional Troso kecamatan Pecangaan Kabupaten Jepara. Sebagian besar pengusaha kelas atas justru menggunakan bahan baku dari kami, karena nilai jualnya setelah menjadi busana lebih tinggi dan sasarannya pada kalangan berduit, seperti pejabat, pengusaha, artis dan perancang busana," terangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar